Selasa, 14 April 2009

Olahraga dan Etika Fair Play

Olahraga dan Etika Fair Play

Tugas Akhir Mata Kuliah Filsafat Ilmu













DISUSUN OLEH:
Ricky B.Laiyan 7216080543






PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2009
Olahraga dan Etika Fair Play

Abstrak
Olahraga merupakan sebuah cerminan dan sekaligus menjadi wahana bagi pelumatan nilai-nilai sosial; ia mencerminkan potensi dan keterbatasan masyarakat sekaligus. Namun, kepedulian kita adalah semata-mata menelaah secara kritis tentang potensi olahraga untuk membeberkan konsep dan fakta bahwa olahraga dan aktivitas jasmani yang berisikan permainan itu merupakan arena bagi penerapan tindakan moral. Karena itu, penghampiran yang digunakan dalam naskah ini terutama pendekatan psikologis dan psikologi sosial.
Kita menyadari bahwa olahraga penuh dengan masalah, silang pendapat, dan lebih-lebih di lingkungan olahraga kompetitif, sering ditandai dengan persaingan yang tidak sehat. Seperti halnya dalam konteks pendidikan jasmani yang mengemban misi kependidikan, olahraga pada umumnya menyediakan kesempatan yang melimpah bagi setiap individu untuk berinteraksi, belajar,mengalihkan dan menegakkan nilai moral. Ketegangan moral yang dialami para pelaku ketika menghadapi situasi yang serba dilematis, misalnya konflik antara kepentingan untuk memenangkan pertandingan dan norma fair play, secara bersamaan melahirkan konflik moral.
Kita memiliki keyakinan bahwa dalam kesempatan berolahraga, seseorang dihadapkan dengan replika kehidupan yang sesungguhnya dan karena itu, kita percaya bahwa kegiatan itu sangat potensial untuk melaksanakan pendidikan moral, bila dikelola dan dilaksanakan sebaik-baiknya.
Dalam kesempatan berolahraga, seseorang dihadapkan dengan struktur sosial yang dapat diterima dan dinilai adil. Dalam kesempatan tersebut peraturan yang diterapkan dipandang lebih fair dari kehidupan yang sesungguhnya. Dalam kaitan inilah maka para ahli, seperti yang diungkapkan oleh Brikman (1977), yakni” Olahraga merupakan tata latar yang ideal untuk memperkenalkan kepada anak-anak pemikirn moral konvensional”. Beberapa ahli juga menyarankan, sebaiknya masyarakat memperoleh manfaat dari olahraga yang berlandaskan pada sistem keadilan yang berlandaskan pada persamaan.
Dalam rangka menjawab keraguan khalayak masyarakat terhadap potensi pendidikan jasmani dan olahraga untuk membina dan membentuk watak, konsep utama yang dipakai sebagai rujukan dalam naskah ini adalah teori perkembangan moral yang dikembangkan Kohlberg yang bertumpu pada penalaran moral. Meskipun teori ini mendapat banyak kritik, tetapi pada tahap awal upaya kita untuk memahami penalaran moral dalam konteks “fair play”.
Pengetahuan mempunyai cirri-ciri yang spesifik mengenai apa (Ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan itu disusun.



1. Ontologi (apa)
1.1 Olahraga mengandung konotasi yang identik dengan bentuk kegiatan olahraga kompetitif yang menekankan pencapaian kejuaraaan rekor, seperti yang dilakukan di lingkungan organisasi induk olahraga kelompok atlit elit. Defenisi olahraga yang dikemukakan Matveyev (1981; dalam rusli rutan 2001), bahwa “ Olahraga merupakan kegiatan otot yang energik dan dalam kegiatan itu atlet memperagakan kemampuan gerakannya (Perporma) dan kemauannya semaksimal mungkin,”. Sedangkan UNESCO mendefinisikan Olahraga yaitu, “ Setiap aktivitas fisik berupa perminan yang berisikan perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang lain ataupun diri sendiri”. Namun, terselip dalam defenisi itu, penegasan pentingnya fair play dalam pelaksanaan kompetisi dan atas dasar itu, barulah olahraga mengandung nilai pendidikan.
1.2 Etika, istilah etika tidak terlepas dari kata moral karena berkaitan erat, Etika” yang berasal dari kata ethike yang berarti ilmu tentang moral adalah sebuah studi analitik, studi ilmiah tentang landasan teoritis tindakan moral. Moral” berasal dari kata Latin, Mos dan dimaksudkan sebagai adat istiadat atau tata krama. Termasuk kedalam komponen “ perasaan “ moral adalah kesadaran hati nurani, self esteem (hormat diri), empati, kecintaan terhadap yang baik, pengendalian diri, dan di bawah tindakan moral adalah kompetensi, kemauan, dan kebiasaan.
1.3 Fair Play, adalah kebesaran hati terhadap lawan yang menimbulkan perhubungan kemanusian yang akrab dan hangat dan mesra. Fair play merupakan kesadaran yang slalu melekat, bahwa lawan bertanding adalah kawan bertanding yang diikat oleh pesaudaraan olahraga.

2. Epistemologi (Bagaimana)
2.1. Olahraga itu sendiri pada hakikatnya bersifat netral, tetapi masyarakatlah yang kemudian membentuk kegiatannya dan memberi arti bagi kegiatan itu dan memanfaatkannya untuk tujuan tertentu. Seperti di Indonesia, sesuai dengan fungsi dan tujuannya, kita mengenal beberapa bentuk kegiatan olahraga, sesuai dengan motif dan tujuan utama, yakni: (1) Olahraga pendidikan, yaitu olahraga utuk mencapai tujuan yang bersifat mendidik dan sering diartikan sama maknanya dengan istilah pendidikan jasmani; (2) Olahraga rekreasi, yaitu olahraga untuk mencapai tujuan yang rekreatif; (3) Olahraga kesehatan yaitu olahraga untuk tujuan pembinaan kesehatan; (4) Olahraga cacat, yaitu olahraga untuk orang cacat, termasuk kegiatan olahraga dalam konteks pendidikan untuk anak-anak cacat yang lazim disebut dalam istilah Adapted physical education ; (5) Olahraga penyembuhan atau rehabilitasi, yaitu olahraga atau aktivitas jasmani untuk tujuan terapi, dan (6) Olahraga Kompetitif (prestasi), yaitu olahraga untuk tujuan mencapai prestasi setinggi-tingginya.
Jadi, olahraga dilakukan karena berbagai alasan penting dari sisi pelakunya. Nilai-nilai dan manfaat (kemaslahatan) yang di peroleh para pelaku itu didapat dari partisipasi atau keterlibatan aktif sebagai pelaku dalam beberapa kegiatan yang bersifat hiburan, pendidikan, rekreasi, kesehatan, hubungan sosial, perkembangan biologis, kebebasan menyatakan diri, pengujian kemampuan sendiri atau kemampuan diri dibandingkan dengan orang lain.
2.2. Etika berkatan dengan moral, perkembangan moral berlandaskan dengan (1) apa yang dipandang baik dan fair (2) apa alasan untuk berbuat baik dan (3) apa perspektif budaya yang melandasi perbuatan baik itu, pada tahap heteromi, seseorang melandaskan pertimbangan moral mereka kepada kepatuhan searah yaitu kepada penguasa (otoritas) seperti orang tua, orang dewasa, dan peraturan yang sudah mapan. Karena peraturan itu suci dan tak dapat diubah, seseorang merasa berkewajiban untuk mematuhinya; benar dan salah biasanya dipandang sebagai hitam dan putih; kebaikan dan keburukan dipandang dari aspek konsekuensi dan hukuman. Tahap otonomi ditandai dengan kemampuan seseorang untuk mengembangkan rasa kemandirian dan susuasana saling mendukung dengan pihak lain. Benar dan salah ditentukan oleh keadaan situasional, sementara peraturan bisa diubah, relatif sesuai dengan tuntutan situasi dan kebutuhan manusia. Thomas Lickona dalam karyanya Educating For Character menjelaskan bahwa seseorang harus memiliki kualitas pengetahuan moral, Feeling moral dan tindakan moral. Ketiga komponen ini penting untuk mengembangkan watak yang baik. Pada komponen pengetahuan moral terdapat unsur lainnya yakni kesadaran moral, pengetahuan tentang nilai moral, perhitungan kedepan, pertimbangan moral, pembuat keputusan.
2.3. Fair Play, dijumpai makna dalam pernyataan yakni setiap pelaksanaan olahraga harus ditandai oleh” semangat kebenaran dan kejujuran, dengan tunduk kepada peraturan-peraturan, baik yang tersurat maupun yang tersirat” (Essai de Doctrine du Sport. Haut Comite des Sports france,1964). Dalam dokumen yang lebih mutakhir, dalam europen Sport Charter and Code of Ethic yang diterbitkan oleh Dewan olahraga Eropah (1993) disebutkan defenisi Fair play sebagai: “ Lebih dari sekedar bermain dalam aturan. Fair play itu menyatu dengan konsep persahabatan dan menghormati yang lain dan slalu bermain dalam semangat sejati. Fair play dimaknakan sebagai bukan hanya unjuk perilaku. Ia menyatu dengan persoalan yang berkenaan dengan dihindarinya ulah penipuan, main berpura-pura atau “main sabun”, doping, kekerasan (baik fisik maupun ungkapan kata-kata), eksploitasi, memanfaatkan peluang, komersialisasi yang berlebih-lebihan atau melampui batas korupsi.
Secara tidak sengaja perasaan umum, dengan meluaskan gagasan ini, mendefenisikan kelakuan demikian itu dengan istilah” semangat olahragawan sejati”, yang mengungkapkan bagaimana seseorang bermain serta bagaimana cara ia bersikap dan bertindak terhadap orang lain baik pada saat bermain maupun pada saat lainnya yang masih berkaitan dengan situasi pertandingan.
Dengan kata lain, sikap batin semacam itu, yang dapat kita sebutkan dalam istilah itikad, berisi pertimbangan moral, yang kemudian secara otomatis terjabarkan dalam perilaku. Dikaitkan dengan perkembangan akhir-akhir ini, semangat olahragawan sejati semacam itu perlu dikembangkan serta disebarluaskan. Keadaan demikian perlu disosialisasikan sejak dini, sejak seseorang mulai belajar olahraga dengan maksud untuk melindungi olahraga dari bahaya-bahaya yang mengancamnya.
Berkenaan dengan hal ini kiranya perlu disebarluaskan di Indonesia, gagasan dan praktik berolahraga yang dijiwai oleh semangat sportivitas. Untuk itu, alangkah baiknya jika selalu dapat diterapkan praktik-praktik yang memperkokoh pengalaman prilaku yang adil dan jujur. Sangat tepat bila dilembagakan pemberian penghargaan kepada berbagai pihak yang menjadi pelaku olahraga yang menunjukkan perilaku yang terpuji yang meliputi dalam konsep fair play.

3. Aksiologis (Untuk apa)
3.1. Olahraga dan etika fair play,
Kaji nilai (aksilogi) yang dipersoalkan adalah aspek penerapan sesuatu ke dalam praktik yang berkaitan dengan masalah nilai. Nilai merupakan rujukan perilaku, sesuatu yang dianggap “ luhur” dan menjadi pedoman hidup manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam bidang keolahragaan, persoalan ini kian relevan untuk dibahas. Kecendrungan sikap dan partisipasi dalam tindakan dari sekelompok warga masyarakat, termasuk organisasi induk olahraga, yang berusaha untuk meningkatkan prestasi, membangkitkan masalah yang semakin kompleks dan mendalam. Hal itu karena nilai-nilai ideal olahraga makin luhur, di geser oleh nilai “ baru” sebagai konsekuensi dari perubahan sosial.
Kegiatan dalam keolahragaan merupakan cerminan adalam lingkup mikrokosmos dari tatanan masyarakat yang lebih luas. Nilai dalam masyarakat telah berubah, dan hal itu juga berdampak nyata ke dalam olahraga.
Di antara persoalan yang paling menonjol dewasa ini adalah penerapan fair play atau sportivitas sebagai nilai inti dalam bidang olahraga. Tantangannya muncul dalam aneka prilaku atlet, pelatih,ofisial, dan bahkan juga dari kalangan insane pers. Yang lebih menonjol adalah upaya memperoleh kemenangan yang disertai dengan upaya bukan mengandalkan keunggulan teknik dan taktik. Yang diperagakan adalah gejala kekerasan dalam olahraga dan kecendrungan untuk memaksakan kehendak, seperti mencampuri keputusan wasit. Sebaliknya, wasit itu sendiri dalam beberapa kasus masih belum mampu untuk berdiri sendiri dalam beberapa kasus masih belum mampu untuk berdiri di tengah-tengah, tanpa memihak, sesuai dengan fungsinya.
Kiranya tidak berlebihan bila kita mengatakan, sudah mulai terjadi dan kian berkembang, gejala demokralisasi dan degrasi karakter dalam olahraga. Di samping peningkatan kekerasan, seperti sering diperagakan oleh penonton, unsur ketidakjujuran juga kian mencuat ke permukaan. Ketidaksanggupan dalam permainan, seperti sering disebut dalam istilah “main sabun” merupakan pertanda dari ketidakjujuran untuk memperlakukan olahraga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar